Senin, 23 Agustus 2010

Remisi dan Grasi

“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka yang kamu pimpin” (hadits nabi)

Dalam kepemimpinan ada yang disebut sisi kepekaan sensitivitas, mempunyai telinga lebih tajam dari telinga kelelawar (binatang yang paling tajam pendengaranannya), bahkan seorang pemimpin adalah orang yang mampu membuat orang bisu bisa berbicara. Bagaimana caranya? Tentunya dengan memberikan pelayanan dan perhatian serta kepercayaan. Mampu membangun jembatan psikologis dan emosional terhadap bawahannya atau orang-orang yang dipimpin.

Menilik kalimat diatas, jika kita coba membandingkan dengan pemimpin-pemimpin di Negara kita, khususnya rasa kepekaan sensitivitasnya ketika bulan Agustus (setiap tahun), luar biasa peka. Kenapa, pemimpin bangsa negeri ini bukan hanya membangun jembatan psikologis dan emosional terhadap orang-orang “yang benar” di mata hukum, bahkan orang-orang yang jelas-jelas “bersalah” dimata hukum pun di perhatikan bahkan diperlakukan luar biasa. PEMBERIAN REMISI DAN GRASI.

Apakah pemberantasan korupsi hanya sebuah yel-yel saja, padahal para pemimpin kita sering mengkampanyekan pemberantasan korupsi, tapi ternyata dengan mudah memberikan remisi dan grasi kepada beberapa terpidana korupsi. Anggota DPR dari Fraksi Golkar Bambang Soesatyo (dalam harian warta kota 21, Agustus 2010) mengatakan : ” Presiden SBY tak serius memberantas korupsi karena mengobral remisi dan grasi terhadap para koruptor. Jika cara demikian tak dihentikan akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, dan ini bukan soal layak atau tidak layak mendapatkan remisi tapi soal konsitensi pemerintah dalam memberantas korupsi”.

Aulia Pohan, Maman H Sumantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin (para mantan Deputi Gubernur BI), sejak 18 Agustus 2010 sudah bebas bersayarat setelah hukumannya dikurangi remisi. Terlepas apakah ada kedekatan dengan orang-orang di istana atau tidak yang jelas dengan pemberian ini bisa saja akan mencederai rasa keadilan di masyarakat. Coba kita bandingkan dengan orang-orang yang dihukum karena mencuri ayam dan sejenisnya apakah juga akan mendapat sentuhan kebijakan “pemberian remisi/grasi dari pemimpin kita. Mudah-mudahan dapat ya… karena seorang Artalyta Suryani yang jelas-jelas bukan saja pelaku korupsi tapi juga menurut saya sebagai pelaku pembusukan dan pembobrokan kondisi manjemen sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan menjadikan ruang sel menjadi ruang yang luar biasa mewah pun mendapat remisi juga dari presiden.

Padahal ulama MUI dan Muhammadiyah pernah mengatakan bahwa para koruptor itu adalah kafir, ini berarti pemimpin kita luar biasa hebatnya karena mampu memberikan ampunan dan kebebasan berupa pemberian remisi kepada orang-orang kafir. Orang yang bisa dikatakan orang-orang yang meminta pelayanan dan hak-hak istimewah dari rakyat, naik mobil mewah rakyat, tinggal di rumah mewah rakyat, pergi naik pesawat dengan tiket yang dibayari rakyat, bahkan mungkin punya istri simpanan pun harus dibiayai rakyat. Nauzubillah

“Keadilan adalah jika engkau meletakkan sesuatu pada tempatnya yang benar”.