Jumat, 19 Februari 2010

Kemiskinan di sekitar kita

Udah lama gak nulis lagi rasanya susah untuk mulainya, tapi sebenarnya kalau kita mau, banyak hal yang bisa kita tulis, karena sekitar kita merupakan sumber yang paling kaya untuk dijadikan referensi tulisan. Contoh kecil saja yang kemarin-kemarin kita dengar tentang misalnya seorang ibu yang tega menjual anak yang masih di dalam kandungannya hanya dengan seharga 2 jt karena dia tidak mampu membayar kontrakan, ada seorang ibu yang meninggalkan anaknya karena ketidak mampuannya membayar hutang dengan salah satu perusahaan PJTKI.
Wah… luar biasa memang… kalau kita selalu melewati hari dengan memperhatikannya seksama kemudian mencoba untuk menuangkannya dalam bentuk coret-coret di…. Katakan hanya selembar kertas, mungkin itu sudah jadi tulisan namanya.
Sama halnya ketika saya keliling-keliling di sekitar perumahan (perumahan? Kesannya.....) bersama istri dan kedua anak saya untuk mencari ibu-ibu yang mau kerja di rumah merawat anak-anak saya, wah.... dengan kondisi perkampungan seperti itu (kampung di sebelah ”perumahan” saya), sepertinya bisa dijadikan sumber tulisan. Misalnya saja mengangkat tentang kemiskinan.

Kemiskinan. Ngomong-ngomong tentang kemiskinan, mengingatkan saya pada kalimat yang dikatakan oleh Gandhi, bahwa kemiskinan adalah kekerasan dalam bentuk yang paling buruk. Secara umum kemiskinan bisa diartikan sebagai kekurangan sumber daya material bagi masyarakat. Pelakunya bisa dikatakan seekaligus sebagai korban juga, nah.. disinilah tampak sangat nyata bahwa kemiskinan merupakan momok yang perlu dihindari.
Rendahnya pendapatan, ketiadaan keahlian, tidak ada kebiasaan menabung, peminjaman uang, dan sejenisnya, itu bisa dikatakan suatu tanda dari kebudayaan kemiskinan dilihat dari sudut pandang ekonomi.
Kemiskinan bukan lagi milik perkampungan, kota kecil, bahkan sudah merupakan milik kota-kota besar juga. Tempat tinggal yang padat, malas, bergantung kepada nasib, boros, dan sebagainya, itu merupakan atribut sosial yang melekat pada masyarakat miskin. Di daerah yang tadi saya katakan, kemiskinan bukan lagi isapan jempol semata, rumah-rumahnya sangat padat, penduduknya banyak yang menganggur, hampir tiap pagi berbondong-bondong masuk ke perumahan-perumahan sekitarnya hanya untuk mencari botol plastik atau bekas minuman, kertas-kertas, dan lain lain dari tempat-tempat sampah yang bisa dijual, tukang parkir jalanan, bahkan bisa dikatakan ada yang jadi ”preman”.
Kondisi masyarakat orang miskin itu seperti apa yang digambarkan oleh James Scoot dalam tulisan Koenharibowo pada Jurnal Pendidikan Lingkungan Indonesia, Kemiskinan itu digambarkan sebagai orang yang selamanya berdiri terendam air sampai keleher, sehingga riak kecil pun dapat menenggelamkannya. Kalau kita lihat dan perhatikan apa yang digambarkan oleh James Scoot bahwa posisi orang-orang yang masuk kategori miskin itu serba sulit dan sangat dekat dengan kematian.
Sepertinya kemiskinan itu sudah menjadi permasalahan yang kompleks. Dari tahun ketahun bukannya berkurang justru semakin bertambah. Padahal pemerintah mempunyai konsep yang bisa dikatakan luar biasa dalam menanggulangi kemiskinan. Dari waktu ke waktu dan aneka program telah dilaksanakan oleh berbagai lembaga, katakan saja oleh Departemen Sosial, atau bahkan World Bank. Mulai dari program JPS, Raskin, dan lain sebagainya. Tapi tetap saja yang namanya kemiskinan sulit untuk di....... jangankan di hilangkan, dikurangi saja sulit. Tapi mudah-mudah pemerintah mampu setidaknya meminimalisir angka kemiskinan di negeri ini.
Sebenarnya siapa yang salah, pemerintah pusat, daerah, atau masyarakat itu sendiri?